Jumat, 05 Desember 2008

ANJING GILA-Penanganan Rabies di Flores

KOMPAS, Jumat, 5 Desember 2008
Seekor anjing dari hutan dengan air liur meleleh di mulut dan hidung serta ekor terlipat masuk ke dalam pangkal paha langsung menyambar Anita Tukan (6), anak balita yang sedang bermain di halaman rumahnya di Desa Sukutukang, Wulanggitang, Flores Timur, Senin (8/9). Anjing tak bertuan itu

kemudian lari masuk ke hutan. Anita segera dibawa ke puskesmas di Boru, sekitar 7 kilometer dari Desa Sukutukang, untuk mendapatkan pertolongan pertama. Kini, Anita masih tampak sehat, tetapi trauma kedua orangtua Anita masih membekas. Hampir semua warga Flores dan Lembata memiliki pengalaman pahit mengenai keganasan anjing rabies ini. Penyakit anjing gila ini muncul sejak tahun 1996 di daratan Flores dan Pulau Lembata. Sudah 12 tahun kasus rabies melanda Flores, tetapi belum ada cara penanganan yang tepat.
Selama 1996-2008 tercatat 37.758 kasus gigitan anjing rabies pada masyarakat Flores. Dari jumlah ini, 472 orang meninggal dunia dan 37.286 korban gigitan dapat diselamatkan. Dari 472 orang meninggal, sebagian besar atau 412 korban adalah anak balita.
Pada Januari-Juni 2008 terdapat 1.299 kasus gigitan, dua di antaranya meninggal dunia. Kasus gigitan terbanyak terjadi pada Juli-Agustus 2008, tetapi belum dilaporkan ke dinas kesehatan provinsi.
Ketika penyakit anjing gila muncul tahun 1996, setahun kemudian ada gerakan membasmi anjing peliharaan di setiap rumah penduduk. Namun, saat itu terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian warga dengan sukarela membunuh anjingnya, tetapi sebagian lain menolak. Tim pembasmi anjing terdiri atas staf lurah (desa). Anggota polisi pun tidak mampu membasmi anjing itu sampai tuntas.
Warga paham, cukup banyak orang meninggal dunia setelah digigit anjing gila. Akan tetapi, mereka tidak rela membunuh anjing kesayangannya yang selama ini berperan menjaga rumah dan menemani pemilik selama di rumah, di kebun, dan di perjalanan.
Akan tetapi, menurut Koamesah, upaya memberantas penyakit rabies di Flores hanya dengan memberantas semua anjing peliharaan di daratan Flores dan Lembata. Imbauan ini sudah berulang kali disampaikan dinas kesehatan di setiap kabupaten. Namun, sebagian bupati menolak, dengan alasan anjing memiliki nilai ekonomi dan budaya bagi pemiliknya.
Lagi pula tidak semua warga setuju membunuh anjing peliharaannya. Ketika petugas datang ke rumah, anjing diikat di dalam kamar tidur atau sengaja diikat di ladang agar tidak dibunuh.
”Selama masyarakat tidak sepaham, masalah rabies di Flores tetap ada. Membasmi penyakit rabies lebih menyangkut kesadaran masyarakat sendiri. Apakah mereka benar-benar ingin bebas dari rabies atau tidak,” kata Boby.
Simon Lipatama (55), warga Desa Mewet di Flores Timur, mengatakan, lima anjing yang dipelihara di rumahnya berfungsi ganda, yakni sebagai penjaga rumah, pengusir hama kebun, berburu hewan liar, sahabat keluarga di rumah, bahkan sebagai penghalau setan atau roh jahat.
”Anjing itu hewan peliharaan yang sangat akrab dengan manusia. Sejak nenek moyang memelihara anjing tidak ada masalah, tetapi mengapa belakangan ini anjing menjadi masalah bagi masyarakat, termasuk tuannya sendiri,” kata Lipatama.
Pria yang memiliki hobi berburu, dengan mengandalkan tenaga dan kelincahan anjing ini, menolak usul sebagian orang, terutama petugas kesehatan, agar anjing dibantai sampai tuntas. Menurut dia, anjing pembawa rabies itu bukan yang dipelihara di rumah-rumah, melainkan anjing yang datang dari luar desa.
Katanya, anjing penggigit empat anak balita hingga meninggal di Desa Mewet tahun 1998-2005 adalah anjing yang berasal dari hutan atau anjing bukan dari desa itu. Anjing gila itu tidak dikenal warga. Tiba-tiba muncul dari sudut desa, bertemu dengan anjing lokal, kemudian menyerang anak-anak atau orang dewasa di sekitarnya.
Hal senada disampaikan Kepala Subdinas Pemberantasan Penyakit Hewan Dinas Peternakan NTT Maria Geong. Menurut dia, anjing yang dipelihara warga bukan pembawa virus rabies satu-satunya. Binatang pembawa rabies adalah anjing hutan, kera, kucing, dan kelelawar.
Karena itu, Geong menolak usulan sejumlah kalangan, terutama dinas kesehatan, agar mengeliminasi total semua anjing di daratan Flores. Cara itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tetapi justru melahirkan masalah baru. Masyarakat Flores akan bereaksi, apalagi tidak diberi kompensasi sama sekali.
”Warga mendapatkan anjing itu dengan cara membeli dan menukar dengan barang atau ternak tertentu, seperti ayam atau kambing. Lalu, pemerintah dengan sesukanya membantai anjing-anjing itu, ini sangat menyedihkan. Apakah kelompok yang menghendaki eliminasi total itu punya perasaan atau tidak,” katanya.
Di Flores, anjing sangat dekat dengan masyarakat karena memiliki nilai-nilai ”khusus”. Suatu desa tanpa lolongan anjing, desa itu dianggap tidak punya ”roh”. Sebuah rumah tanpa anjing yang menjaga di depan halaman diyakini rumah itu mudah dimasuki roh jahat.
Anjing sering menjadi ”tumbal” guna menyelamatkan nyawa orang yang sedang sakit keras di dalam rumah itu. Seekor anjing melolong di tengah malam saat seluruh isi rumah tidur pulas. Ini pertanda ada roh jahat berkeliaran di sekitar rumah. Pemilik rumah harus bangun dan berdoa agar roh-roh jahat itu tidak masuk ke rumah itu.
Di mana-mana di seluruh dunia, manusia tidak berhak membasmi tuntas populasi hewan (ternak) tertentu. Itu hukum alam. Kini beberapa ahli hewan dari Afrika Selatan datang ke Flores untuk meyakinkan masyarakat agar mempertahankan populasi anjing.
Geong pun menciptakan sebuah lagu khusus tentang keistimewaan anjing di Flores. Lagu yang diaransemen Pastor Dr Gregor Neonbasu ini dibawakan pada setiap kegiatan dinas peternakan.
Mengatasi rabies di Flores, menurut Geong, cukup dengan memberikan vaksin antirabies kepada semua ternak anjing dan kepada orang yang digigit anjing. Pada Mei 2008 telah didistribusikan 140.000 botol vaksin antirabies kepada masyarakat. Selanjutnya, pada September lalu didistribusikan lagi 70.000 botol vaksin. Vaksin tersebut akan disuntikkan kepada 240.000 anjing di Flores dan Lembata.
Akan tetapi, Koamesah dari Dinas Kesehatan NTT pesimistis. Apakah setiap tahun pemda harus mengalokasikan dana Rp 10 miliar untuk membeli vaksin antirabies itu. Vaksin itu sendiri cukup mahal, lagi pula cara mendapatkannya pun tidak mudah.
”Siapa mampu memberi vaksin kepada kera, kelelawar, dan kucing yang juga membawa virus rabies. Semua jenis binatang pembawa virus rabies ini dieliminasi total sampai dekade tertentu dan benar-benar hilang, kemudian dipelihara lagi,” kata Koamesah.

Tidak ada komentar: